Rabu, 28 Juli 2010

Adab Berbicara



1. Kata-kata Yang Bermanfaat 
Dalam kamus seorang Muslim, hanya ada dua pilihan ketika hendak bercakap dengan orang lain. Mengucapkan sesuatu yang baik atau memilih diam. Rasulullah SAW bersabda, “Barang siapa mengaku beriman kepada Allah dan hari Pembalasan hendaknya ia berkata yang baik atau memilih diam.” (al-Bukhari).

2. Sedekah
“Setiap tulang itu memiliki kewajiban bersedekah setiap hari. Di antaranya, memberikan boncengan kepada orang lain di atas kendaraannya, membantu mengangkatkan barang orang lain ke atas tunggangannya, atau sepotong kalimat yang diucapkan dengan baik dan santun.” (al-Bukhari).

3. Jauhi Pembicaraan Sia-Sia
Sebaiknya menghindari pembicaraan berujung kepada kesia-siaan dan dosa semata. “Sesungguhnya orang yang paling aku benci dan paling jauh jaraknya dariku pada hari Kiamat adalah para penceloteh lagi banyak bicara.” (at-Tirmidzi).

4. Tidak Mengghibah
“…Dan janganlah ada di antara kamu yang menggunjing sebagian yang lain. Apakah ada di antara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Tentu kamu merasa jijik. Dan bertakwalah kepada Allah. Sungguh Allah Maha Penerima tobat lagi Maha Penyayang.” (al-Hujurat : 12).

5. Tidak Mengadu Domba
Hudzaifah r.a meriwayatkan, saya mendengar Rasulullah SAW bersabda, “Tak akan masuk surga orang yang suka mengadu domba.” (al-Bukhari dan Muslim).

6. Jangan Berbohong
“Sesungguhnya kejujuran itu mendatangkan kebaikan, dan kebaikan itu akan berujung kepada surga. Dan orang yang senantiasa berbuat jujur niscaya tercatat sebagai orang jujur. Dan sesungguhnya kebohongan itu mendatangkan kejelekan, dan kejelekan itu hanya berujung kepada neraka. Dan orang yang suka berbohong niscaya tercatat di sisi Allah sebagai seorang pendusta.” (al-Bukhari).

7. Hindari Perdebatan
Sedapat mungkin menjauhi perdebatan dengan lawan bicara. Meskipun boleh jadi kita berada di pihak yang benar. Sebab Rasulullah SAW telah menjamin sebuah istana di surga bagi mereka yang mampu menahan diri. “Aku menjamin sebuah istana di halaman surga bagi mereka yang meninggalkan perdebatan meskipun ia berhak untuk itu.” (Abu Daud, dishahihkan oleh al-Albani).

8. Tidak Memotong Pembicaraan
Suatu hari seorang Arab Badui datang menemui Rasulullah SAW, ia langsung memotong pembicaraan beliau dan bertanya tentang hari Kiamat. Namun Rasulullah tetap melanjutkan hingga selesai pembicaraannya. Setelah itu baru beliau mencari si penanya tadi. (al-Bukhari)

9. Jangan Saling Mengolok dan Memanggil dengan panggilan yang buruk
“Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah suatu kaum mengolok-olok kaum yang lain, (karena) boleh jadi mereka (yang diperolok-olok) itu lebih baik dari mereka (yang mengolok-olok). Dan jangan pula perempuan-perempuan (mengolok-olok) perempuan yang lain. Karena boleh jadi perempuan (yang diperolok-olok) itu lebih baik dari perempuan (yang mengolok-olok) itu. Janganlah kamu saling mencela satu sama lain. Dan janganlah kamu saling memanggil dengan gelar-gelar yang buruk. Seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) yang buruk (fasik) setelah beriman. Dan barang siapa yang tak bertobat maka mereka itulah orang-orang yang zalim.” (al-Hujurat : 11).

10. Pandai Dalam Menjaga Rahasia
“Tiadalah seorang Muslim menutupi rahasia saudaranya di dunia kecuali Allah menutupi (pula) rahasianya pada hari Kiamat.” (Muslim).

Fenomena Bulan Ramadlan

Pertama, kebanyakan kaum Muslimin baru mengenal Allah SWT setelah datangnya bulan Ramadlan. Selama sebelas bulan mereka menjauhi al-Qur’an, menjauhi masjid, menjauhi kebaikan. Sebaliknya, malah mereka mendekati tempat-tempat kemungkaran dan melalaikan segala kewajiban.

Tatkala Ramadlan tiba, mereka lalu seolah-olah baru tersentak kaget. Mereka bersiap menyambut ramadlan dengan mendatangi masjid beramai-ramai, mereka seolah tenggalam dalam kekhusyu'an dan kesyahduan shaum di bulan Ramadlan. Mereka terlihat bersimpuh, merendahkan diri seolah-olah hendak menipu Allah.
Pertanyaannya, bukankah mereka menyadari bahwa Tuhan pencipta bulan Ramadlan juga pencipta bulan Sya’ban dan Syawwal? Bukankah mereka telah mengetahui bahwa Allah Maha Melihat perbuatan manusia, baik yang tampak maupun yang tersembunyi, baik di bulan Ramadlan maupun di bulan-bulan lainnya? Lalu mengapa mereka baru terlihat sibuk beribadah pada bulan Ramadlan saja?

Kedua, pada malam-malam bulan Ramadlan sebagian kaum Muslimin meramaikannya dengan shalat qiyamur-ramadlan berjama'ah. Mereka berdatangan dari segala penjuru hingga masjid-masjid dan mushalla-mushalla penuh sesak bahkan meluber hingga ke jalan-jalan. Pemandangan ini sungguh sangat menggembirakan, tapi pertanyaannya, kemana mereka setelah Ramadlan berakhir?

Padahal shalat tarawih kedudukannya hanyalah sunnah, sedang shalat lima waktu adalah fardhu, yang wajib dilaksanakan secara berjama’ah di masjid (bagi kaum pria yang mampu dan tidak ada halangan).
Pemahaman yang salah kaprah seperti yang dipraktikkan selama ini sudah saatnya diperbaiki. Kaum Muslimin sudah saatnya lebih cerdas dari sebelumnya. Mereka harus tahu bahwa amalan yang wajib harus diutamakan daripada amalan sunnah. Menjalankan shalat fardhu berjama’ah lebih penting dan lebih utama daripada shalat tarawih berjama'ah.

Ketiga, kebiasaan buruk selama puasa adalah memperpanjang tidur pada siang hari. Ada sebagian yang meneruskan tidurnya setelah shalat Subuh hingga siang hari dan ada pula yang tidur mulai dari Dzuhur hingga Ashar. Dengan tidur sepanjang itu, dimana kenikmatan menjalankan shaum? Di mana kita berlatih menahan lapar, merasakan pahit getirnya nasib para fuqara dan masakin?

Lebih ironis lagi jika malam-malam hari Ramadlan dihabiskan untuk begadang dengan melakukan perbuatan yang sia-sia, mendengarkan lagu-lagu lewat radio, menonton televisi hingga larut malam, atau melakukan permainan lainnya, sementara siang harinya justru dipakai untuk tidur. Lalu di mana makna iman di bulan Ramadlan?

Tidur siang hari memang tidak dilarang, tapi lakukanlah sesuai dengan kebutuhan. Jika Rasulullah SAW dan para sahabat memanfaatkan bulan Ramadlan untuk berperang, lalu pantaskah jika kita menghabiskannya untuk tidur-tiduran saja?

Sabtu, 24 Juli 2010

Istikharah Jodoh

Seringkali manusia dihadapkan pada berbagai pilihan. Entah dalam bidang apa saja. Bisa karir, sekolah, perguruan tinggi, dan mungkin juga jodoh. Nah, masalah jodoh biasanya hal yang paling banyak bikin orang bingung. Pasalnya, memang tidak gampang memilih jodoh. Jodoh merupakan pasangan seumur hidup, bahkan sampai akhirat. Salah-salah memilih jodoh, sama halnya cari petaka hidup.

Setidaknya hal itu sudah banyak contohnya. Baru seumur jagung pernikahan, biduk rumah tangga sudah retak. Bahkan pecah. Nauzubillah. Sesuai kata bijak, kalau bisa, menikah hanya sekali dalam seumur hidup. Namun, yang bikin bingung, jika ada lebih dari satu pilihan. Apalagi, semuanya baik. Siapapun bakal masygul. Setidaknya, seperti yang dialami Aisyah dalam kisah di atas. Untungnya, Aisyah lekas shalat istikharah. Aisyah tidak mau terjebak dalam keputusan pragmatis duniawi semata.

Namun perlu diingat. Apa yang diistikharahkan harus realistis dan tidak bertentangan dengan syariat Islam. Akal pikiran dapat menjangkau dan mengukurnya. Jadi tidak terkesan irasional. Jodoh misalnya, harus orang yang baik-baik dan betul-betul serius untuk dijadikan pendamping hidup, bukan untuk dipacari. Jangan sampai karena bingung memilih pacar, lalu shalat istikharah tujuh hari tujuh malam. Bukan itu yang disebut istikharah. Sebab yang terkahir ini jelas bertentangan dengan syariat.

Shalat istikharah sangat berguna untuk menghilangkan rasa waswas. Paling tidak dalam menghindari rasa penyesalan di kemudian hari karena salah dalam memilih. Dan orang yang mendapat jodoh dari shalat istikharah dijamin tidak menyesal.

Sebuah hadits menyebutkan, "Tidak akan kecewa orang yang mau (mengerjakan shalat) Istikharah, dan tidak akan menyesal orang yang suka bermusyawarah serta tidak akan melarat orang yang sukaberhemat (sederhana)." (HR. Thabrani)

Shalat istikharah tidak jauh beda dengan shalat sunnah lainnya. Shalat istikharah bisa dilakukan dua rakaat dan kapan saja, bisa siang atau malam. Namun, lebih baik dilakukan seperti shalat tahajud, di sepertiga malam.

Dalam Fiqhus-Sunnah, As-Sayyid Sabiq mengatakan tidak ada ketentuan yang kuat surat atau ayat apa yang secara khusus harus dibaca pada dua rakaat.

Sedangkan, doa istikharah dibaca setelah usai shalat. Doa tersebut sebagai berikut; "Allahumma Astakhiiruka bi 'ilmika Wa Astaqdiruka biqudratika. Allahumma inkunta ta'lamu anna hazal amra khirun li fi diini wa ma'asyi wa 'aqibatu amri, faqdirhu li wa yassirhu li tsumma baarik li fihi. Wa Inkunta ta'lamu anna hazal amra syarran li fi diini wa ma'asyi wa 'aqibatu amri, fashrifhu 'anni wa washrifni 'anhu Waqdir liya khaira haitsu kaana. Tsummardhini bihi."

Artinya; "Ya Allah, aku memohon petunjuk kebaikan kepada-Mu dengan ilmu-Mu. Aku memohon kekuatan dengan kekuatan-Mu. Ya Allah, seandainya Engkau tahu bahwa masalah ini baik untukku dalam agamaku, kehidupanku dan jalan hidupku, jadikanlah untukku dan mudahkanlah bagi dan berkahilah aku di dalam masalah ini. Namun jika Engkau tahu bahwa masalah ini buruk untukku, agamakku dan jalan hidupkku, jauhkan aku darinya dan jauhkan masalah itu dari ku. Tetapkanlah bagiku kebaikan dimana pun kebaikan itu berada dan ridhailah aku dengan kebaikan itu."

Berdoa adalah senjatanya umat Islam. Dengan doa, semua masalah bisa dipecahkan. Allah SWT telah menjamin pada setiap hamba-Nya untuk mengabulkan segala doa. Asal, tidak putus asa dan terus berdoa.