Rabu, 28 Juli 2010

Fenomena Bulan Ramadlan

Pertama, kebanyakan kaum Muslimin baru mengenal Allah SWT setelah datangnya bulan Ramadlan. Selama sebelas bulan mereka menjauhi al-Qur’an, menjauhi masjid, menjauhi kebaikan. Sebaliknya, malah mereka mendekati tempat-tempat kemungkaran dan melalaikan segala kewajiban.

Tatkala Ramadlan tiba, mereka lalu seolah-olah baru tersentak kaget. Mereka bersiap menyambut ramadlan dengan mendatangi masjid beramai-ramai, mereka seolah tenggalam dalam kekhusyu'an dan kesyahduan shaum di bulan Ramadlan. Mereka terlihat bersimpuh, merendahkan diri seolah-olah hendak menipu Allah.
Pertanyaannya, bukankah mereka menyadari bahwa Tuhan pencipta bulan Ramadlan juga pencipta bulan Sya’ban dan Syawwal? Bukankah mereka telah mengetahui bahwa Allah Maha Melihat perbuatan manusia, baik yang tampak maupun yang tersembunyi, baik di bulan Ramadlan maupun di bulan-bulan lainnya? Lalu mengapa mereka baru terlihat sibuk beribadah pada bulan Ramadlan saja?

Kedua, pada malam-malam bulan Ramadlan sebagian kaum Muslimin meramaikannya dengan shalat qiyamur-ramadlan berjama'ah. Mereka berdatangan dari segala penjuru hingga masjid-masjid dan mushalla-mushalla penuh sesak bahkan meluber hingga ke jalan-jalan. Pemandangan ini sungguh sangat menggembirakan, tapi pertanyaannya, kemana mereka setelah Ramadlan berakhir?

Padahal shalat tarawih kedudukannya hanyalah sunnah, sedang shalat lima waktu adalah fardhu, yang wajib dilaksanakan secara berjama’ah di masjid (bagi kaum pria yang mampu dan tidak ada halangan).
Pemahaman yang salah kaprah seperti yang dipraktikkan selama ini sudah saatnya diperbaiki. Kaum Muslimin sudah saatnya lebih cerdas dari sebelumnya. Mereka harus tahu bahwa amalan yang wajib harus diutamakan daripada amalan sunnah. Menjalankan shalat fardhu berjama’ah lebih penting dan lebih utama daripada shalat tarawih berjama'ah.

Ketiga, kebiasaan buruk selama puasa adalah memperpanjang tidur pada siang hari. Ada sebagian yang meneruskan tidurnya setelah shalat Subuh hingga siang hari dan ada pula yang tidur mulai dari Dzuhur hingga Ashar. Dengan tidur sepanjang itu, dimana kenikmatan menjalankan shaum? Di mana kita berlatih menahan lapar, merasakan pahit getirnya nasib para fuqara dan masakin?

Lebih ironis lagi jika malam-malam hari Ramadlan dihabiskan untuk begadang dengan melakukan perbuatan yang sia-sia, mendengarkan lagu-lagu lewat radio, menonton televisi hingga larut malam, atau melakukan permainan lainnya, sementara siang harinya justru dipakai untuk tidur. Lalu di mana makna iman di bulan Ramadlan?

Tidur siang hari memang tidak dilarang, tapi lakukanlah sesuai dengan kebutuhan. Jika Rasulullah SAW dan para sahabat memanfaatkan bulan Ramadlan untuk berperang, lalu pantaskah jika kita menghabiskannya untuk tidur-tiduran saja?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Qul KhaiRAn aW lI-yashMuT..